Tianlu (sqhy story) ~ Chapter 1

Zhou Shi Yu dan Wang Yi


Terminal 1, Bandara Internasional Pudong, Shanghai.

Bandara Internasional Pudong, atau PVG, begitu ramai dengan penumpang yang menanti penerbangan mereka. Bangunan megah, dengan rangka baja membentang di langit-langit, dipisahkan oleh jendela kaca yang membiarkan cahaya pagi menembus masuk ke dalam gedung raksasa itu.

Dibanding bandara lain, PVG terbilang indah, tapi sepertinya tak banyak yang menyadari itu. Kebanyakan orang bergegas, sibuk bergerak dari pemeriksaan keamanan menuju terminal, seolah segera duduk akan membuat mereka lebih cepat sampai tujuan.

Di dekat Gerbang B10, Terminal 1, sebuah kru penerbangan tengah berkumpul. Mereka tersenyum, mengobrol sesekali tertawa seolah sudah lama saling mengenal.

Ada lima orang di sana, salah satunya, seorang perempuan berusia hampir tiga puluhan mengenakan seragam pilot, memimpin kelompok. Ia tampak bersemangat dan ceria, matanya berbinar penuh gairah. Dia adalah Yuan Yiqi, kopilot.

“Sudah kubilang pada kekasihku,” katanya sambil mengayunkan tangan cepat. “Mainkan kartumu dengan baik, Sayang, atau aku akan menggantimu dengan pelayan hotel yang lebih muda.”

Grup itu tertawa bersamanya. Ada Eliwa, seorang wanita lebih tua dari Yiqi. Rambut gelapnya diikat kuncir kuda yang ketat, dadanya yang besar terhimpit seragam pramugari. Di sampingnya ada Hu Chao, pria gempal berkacamata hitam, rambut rapi dan janggut tipis, jelas dia tampan dari sisi manapun. Lalu, Tang Ya, wanita Afrika-Amerika dengan rambut hitam lurus yang diikat sekencang milik Eliwa.

Kelompok ini bersama Yiqi, jelas sangat akrab. Namun, berdiri di antara mereka, nyaris seperti orang asing dengan senyum di wajah seolah hanya ikut-ikutan, adalah seorang wanita berusia dua puluh delapan tahun dengan rambut hitam yang tergerai. Seragamnya menonjolkan bentuk tubuhnya yang bugar dan lekuk-lekuknya, tapi ekspresinya justru menampilkan kegelisahan.

“Ayolah, Zhou Shi Yu,” kata Yiqi, lagi-lagi mengulurkan tangan dengan isyarat berlebihan kepada wanita muda itu. “Aku ini lucu, tahu!”

“Memang,” jawab Zhou Shi Yu, tersenyum pada Yiqi. 

Yiqi memutar bola matanya dengan dramatis.

“Kapten Wang dimana?” tanya Eliwa, mengalihkan topik. “Sepertinya mereka siap membuka gerbang untuk kita.”

“Halah,” sahut Yiqi. “Pasti dia sedang menahan mabuk,” kelompok itu–semua kecuali Zhou Shi Yu–tertawa.

“Astaga, hentikan,” kata Tang Ya. “Kita beruntung punya Kapten Wang. Dan rute ini, pulang-pergi Shanghai-Sanya, itu seperti mimpi. Penumpang akan senang dan gembira saat berangkat, lalu lelah dan letih saat kembali. Kapten Wang Yi yang mewujudkan ini untuk kita.”

“Kapten Wang begini, Kapten Wang begitu,” gumam Yiqi, memutar jari di udara.

“Oh!” seru Tang Ya. “Itu dia!”

Saat kru melihat ke bawah terminal, mereka melihat sang kapten berjalan ke arah mereka. Kapten Wang Yi melangkah dengan anggun sambil menarik koper beroda di belakangnya, senyum geli tersungging di bibirnya. Rambut separuh abunya berayun di bahu setiap langkah, topi kapten bertengger di kepalanya. Tubuhnya berlekuk namun ramping, seragamnya tak mampu menyembunyikan pesonanya. Wang Yi cantik, seksi, dan menggoda, dan ia tahu itu. Bahkan usianya masih sangat muda, dua puluh lima itu benar-benar memancarkan keremajaan yang benar-benar bersinar.

Wang Yi Mendekati kru dan meletakkan kopernya. Ia menyeringai.

“Sudah kubilang pada maskapai, aku ingin para profesional di kru,” goda Wang Yi. “Tapi, kurasa kalian semua…. Lumayan lah.”

Mereka tertawa mendengar celotehnya.

“Kapten Wang,” kata Hu Caho. “Kami semua sangat menantikan tugas ini. Kami sangat beruntung bisa mendapatkan rute ini.”

“Sudah lama aku mengusahakannya,” kata Wang Yi. “Memohon, menjilat bos, mencurahkan waktu. Dan sekarang kita di sini,” katanya, tersenyum lebar sambil merenungkan pencapaiannya. “Tiga kali pulang-pergi ke Sanya dalam seminggu. Hari-harinya memang akan panjang, tapi punya libur empat hari akan sangat menyenangkan. Dan akhirnya aku bisa menjalani hidup sepenuhnya.” Ia tertawa.

“Aku tidak tahu bagaimana kamu melakukanya,” kata Eliwa. “Dan kami sangat berterima kasih kamu membawa kami ikut serta.”

“Kapten Wang adalah yang terbaik, bukan begitu?” kata Yiqi, mendekat dan memeluk Wang Yi.

“Katanya tadi dia bakal datang dengan mabuk,” protes Hu Chao. Mata Yiqi membelalak dan ia meletakkan jari di bibir, menyuruh Hu Chao diam. Tapi Wang Yi tertawa.

“Minum dan terbang harus ada jeda dua belas jam,” kata Wang Yi. “Itu aturan hidupku. Kalau hari libur, nah, itu cerita lain.”

Wang Yi mempertahankan senyum tipis saat memandangi kru nya. Namun, ketika matanya sampai pada Zhou Shi Yu, dahinya berkerut. Zhou Shi Yu masih muda dan cantik, tampak sangat segar, tapi ia juga terlihat gelisah dan tidak yakin dengan kelompok tempat ia berada.

“Kamu pasti Zhou Shi Yu,” kata Wang Yi. Ia mengulurkan tangan untuk berjabat. “Senang bertemu denganmu.”

“Senang bertemu dengan anda, Kapten,” kata Zhou Shi Yu. Ia menjabat tangan.

“Ternyata suami Lin Shuqing dipindah tugas ke Guangzhou,” kata Wang Yi. “Jadi Lin Shuqing tidak lagi menyebut PVG sebagai markas. Dan kita ditugaskan Nona Zhou Shi Yu, disini. Nona Zhou Shi Yu, kamu sangat beruntung berada diantara salah satu kru penerbangan terbaik yang pernah terbang di maskapai Langit Utara. Aku tahu mereka terlihat seperti orang aneh, tapi mereka bisa bersikap baik.”

Kelompok itu tertawa, dan Zhou Shi Yu tersenyum malu-malu pada kaptennya.

“Saya menantikan tugas ini,” kata Zhou Shi Yu.

Wang Yi kembali memandangi Zhou Shi Yu, senyum tipis tersungging di bibirnya. Zhou Shi Yu begitu menawan dan memikat dalam sikap hati-hatinya. Meskipun Wang Yi merasakan ketertarikan pada pramugari barunya itu, ia telah berjanji pada diri sendiri untuk tidak melakukan kesalahan yang sama lagi. Tidak akan ada lagi pramugari dalam daftar asmaranya.

“Aku juga sangat menantikan penugasan ini,” jawab Wang Yi. namun suaranya ditujukan pada seluruh kru. 

“Aku berharap bisa meninggalkan masa-masa bangun tidur di kota yang berbeda setiap pagi, tidak yakin di mana persisnya aku berada. Dan rasanya aku sudah terlalu lama untuk hiruk-pikuk pesta kita yang dulu. Aku siap menyerahkan kunci semua tempat istirahat sementara dan menghapus beberapa nomor telepon dari ponselku. Kita akan berhasil, tim. Ini akan luar biasa.”

“Aku hanya menantikan pesawat yang penuh dengan orang-orang bahagia,” kata Tang Ya. “Lihatlah mereka semua,” katanya, menunjuk ke arah penumpang yang duduk di dekat gerbang. 

Meskipun masih pagi, orang-orang tampak gembira dan bersemangat, banyak yang sudah mengenakan pakaian pantai. Saat itu awal musim semi, salju baru saja mulai mencair, dan tak ada satu pun mantel musim dingin terlihat. Tentu saja, mantel tak akan berguna di Sanya. “Pergi liburan ke pantai adalah hal terbaik yang pernah ada. Penumpang yang bahagia membuat pekerjaan kita jauh lebih mudah.”

“Jangan terlalu cepat menyimpulkan, Tang Ya,” peringat Wang Yi. “Kita pasti akan menemukan beberapa orang yang gaduh, yang tak sabar ingin mabuk berat sebelum sampai di pantai. Tapi kurasa kita akan mengalami masa-masa menyenangkan.”

Seorang wanita berjas biru tua dan rok berjalan menghampiri kru dan tersenyum. Dia adalah agen gerbang maskapai Langit Utara, dan ia menunggu dengan sabar hingga kru menghentikan percakapan mereka dan menatapnya.

“Kapten Wang,” kata wanita itu. “Kami siap.”

“Terima kasih, Song Xinran,” kata Wang Yi. “Baiklah, kawan-kawan. Mari kita mulai.”

Kru penerbangan bersorak. Mereka mengambil koper beroda masing-masing dan, dipimpin oleh Yiqi, mulai berjalan menuju pintu gerbang yang kini sudah terbuka. 

Agen gerbang yang berdiri di podium menyambut setiap orang yang lewat.

Dua orang terakhir yang bersiap naik adalah Wang Yi dan Zhou Shi Yu. 

Wang Yi ingin menunggu seluruh krunya naik sebelum ia sendiri masuk, dan Zhou Shi Yu merasa ia harus berada di belakang sebagai anggota tim yang paling baru. Wang Yi menatapnya dan tersenyum lembut.

“Aku tahu mereka kadang sedikit berlebihan,” kata Wang Yi. “Tapi mereka tim yang bagus. Sangat cakap dalam pekerjaan mereka. Menyenangkan dan bisa menerima. Kurasa tidak banyak orang—baik pilot maupun pramugari—mendapat kesempatan terbang dengan kru sehebat ini di rute yang begitu bagus. Kamu dapat keberuntungan di sini.”

“Aku tahu,” kata Zhou Shi Yu. Ia tersenyum. “Aku berusaha untuk tidak menyia-nyiakannya. Aku baru beberapa tahun menjadi pramugari. Aku beruntung sekali mendapatkan penugasan seperti ini.”

“Kamu harus mengirim hadiah yang sangat bagus untuk Lin Shuqing,” goda Wang Yi. 

Zhou Shi Yu tertawa. 

“Mungkin akan kulakukan,” kata Zhou Shi Yu.

Kedua wanita itu berdiri sejenak, menunggu yang lain untuk memimpin. Setelah jeda, Wang Yi membelalakkan matanya dan memberi isyarat ke arah gerbang keberangkatan dengan tangannya.

“Oh tidak,” kata Zhou Shi Yu. “Setelah Anda, Kapten Wang Yi.”

“Kamu duluan, aku bersikeras,” kata Wang Yi, tersenyum puas. “Dan kamu bisa memanggilku Wang Yi.”

“Memanggil Anda Wang Yi?”

“Ya, tentu,” kata Wang Yi. “Maksudku, saat hanya kita berdua. Di depan penumpang dan kru, Kapten Wang itu bagus. Tapi saat hanya kita, Wang Yi yang kupilih.”

“Oke,” jawab Zhou Shi Yu. “Anda bisa memanggilku Zhou Shi Yu.”

“Setelah kamu, Zhou Shi Yu,” kata Wang Yi, masih tersenyum. Ia memberi isyarat sekali lagi dengan tangannya. 

Zhou Shi Yu tertawa pelan, meraih gagang koper berodanya, dan melangkah menuju gerbang yang terbuka. 

Wang Yi terdiam sejenak dan mengawasinya berjalan pergi. Pikiran-pikiran yang kurang pantas merasuki benaknya, dan Wang Yi segera memarahi dirinya sendiri.

“Ingat janji baru, dan jadilah pribadi yang baru,” Wang Yi bergumam pelan saat ia mulai berjalan melewati pintu. “Bersikap baiklah, Wang Yi. Bersikap baik.”