Holy Sin (SQHY) ~ Chapter 31

Zhou Shi Yu dan Wang Yi


Wang Yi dengan perlahan menjauhkan Zhou Shi Yu. "Dia... dia baik-baik saja?" Bermaksud menanyakan San Yi.

Anggukan ragu dari Zhou Shi Yu cukup untuk membuat napas Wang Yi lega. Jemarinya menggenggam tangan Zhou Shi Yu, senyum tipis tersungging di bibirnya, sebelum membimbing wanita itu menuju gugusan batu pipih di bawah teduhnya pohon rindang, di salah satu taman kota Shanghai.

Mereka duduk. Jemari Zhou Shi Yu membelai lembut wajah Wang Yi, tatapannya lekat.

"Aku... aku jatuh cinta pada seorang wanita," bisiknya, penuh kekaguman dan takjub. "Masih saja mengherankanku. Terkadang terasa seperti fatamorgana. Namun, setiap kali bersamamu... segalanya begitu nyata."

Wang Yi membalas dengan senyum getir.

"Wang Yi, dengar... aku, kita. Aku tahu seminggu terakhir ini terasa begitu berat..."

"Ya." Wang Yi menghela napas panjang, berat, lalu berujar tanpa menatap Zhou Shi Yu. "Mungkin kita perlu jeda. Sampai... keadaan mereda."

Zhou Shi Yu menoleh tajam ke arah Wang Yi, dapat melihat luka mentah terukir di wajahnya yang lelah.

"Kau tak perlu merasa sebersalah itu," Wang Yi melanjutkan dengan lembut. "Aku bisa menarik diri dan mengembalikan pikiranku pada tempatnya."

Zhou Shi Yu sontak berdiri, terkejut. "Dari mana... dari mana semua pemikiran ini datang?"

"Aku... aku hanya berpikir kita perlu mundur sejenak dan mencari perspektif."

"Apa kau benar-benar percaya jika kau menata ulang perabot batinmu, itu akan memperbaikinya? Jika kau bertindak seolah tak mencintaiku sebanyak aku mencintaimu, bahwa—" Zhou Shi Yu terhenti. Ia sadar memperdebatkan ini lebih jauh hanya akan sia-sia, dan mencoba menenangkan diri.

"Aku mengerti semua alasan mengapa kau tak bisa percaya. Ibumu, Fei Qin Yuan yang mengkhianatimu... tapi Wang Yi, aku tak pernah membohongimu dan tak akan pernah."

"Kurasa, saat ini aku sungguh tidak tahu itu, Zhou Shi Yu."

Zhou Shi Yu menggeleng, kini mulai kesal. 

"Aku menghabiskan satu setengah hari terakhir dengan isi perutku teraduk-aduk, bertanya-tanya apakah kau bercinta dengan suamimu." Rahang Wang Yi mengeras saat ia menarik napas dalam, "Dan minggu lalu aku melakukan hal yang sama karena ulang tahun pernikahanmu, mabuk berat gara-gara itu, karena aku tidak tahan membayangkan dia menyentuhmu. Tapi juga karena aku tidak punya hak atas perasaan ini—"

"Wang Yi... tidak terjadi apa-apa. Kami bahkan tidak jadi pergi... Bao Wei punya urusan darurat di gereja."

Wang Yi menatap Zhou Shi Yu. Ia tak mengerti. Bagi Wang Yi, selama Zhou Shi Yu merasa bisa menghindari satu peluru demi peluru lainnya, akhir dari semua ini tidak akan menjadi kehancuran total, bagi mereka berdua.

"Aku tahu apa yang ku hadapi... ya sudahlah." Wang Yi menundukkan kepala, lalu menatap kosong ke kejauhan. "Kurasa aku tak sanggup lagi."

"Wang Yi, apa kau tidak melihat masa depan di antara kita?"

"Jadi kencan malam ini tak terjadi apa-apa. Bagaimana dengan kencan berikutnya dan setelahnya? Pada titik tertentu... sesuatu pasti akan terjadi."

Zhou Shi Yu hendak membela diri soal yang terakhir ini, tapi bagaimana bisa? Bagaimana ia bisa mengatakan bahwa ia dan Bao Wei tidak akan pernah tidur bersama lagi? Bukan karena ia menginginkannya, pikiran itu membuat perutnya bergejolak ketakutan, tapi kenyataannya mereka masih terikat pernikahan.

"Bagaimanapun, Wang Yi... aku sudah menikah selama lima belas tahun." Ia berhenti memikirkan bagaimana ia bisa menahan Bao Wei selama hampir delapan bulan. Tapi tanpa memberitahunya alasan mengapa, dan itu sudah menjadi masalah besar—serta ia belum yakin siap melakukan itu—ia tahu bahwa tidur dengannya lagi, dalam kenyataannya, adalah kemungkinan besar.

"Aku... San Yi, keluargaku, mereka tidak… mereka tidak akan mengerti ini... dan aku, sudah kubilang… itu tidak akan berarti apa-apa—"

"Apa kau tidak mengerti?" Wang Yi menoleh padanya, penderitaan jelas terpancar di matanya. "Aku... aku sudah terlanjur terlalu jauh."

Zhou Shi Yu meraih Wang Yi, namun wajah dan tubuh Wang Yi kaku bagai batu. "Kumohon, jika kau bisa memberiku waktu, aku akan..."

"Kau akan apa?"

"Aku... aku akan membereskannya…" Zhou Shi Yu merasakan bumi berputar di bawah kakinya. "...Tapi aku perlu tahu kau bersamaku."

Wang Yi mengatupkan rahang, tatapannya lurus ke depan, merasakan dirinya menarik diri, semakin jauh. Ketika pandangannya jatuh pada Zhou Shi Yu, meskipun ia mencintainya dengan segenap jiwa, ia juga melihat seorang wanita yang rela tidur dengannya demi mempertahankan kedua kehidupannya. Hatinya mengeras. "Kurasa itu yang mereka sebut ingin punya kue dan memakannya juga."

Wang Yi sadar ia sudah kelewat batas. 

Keterkejutan terlihat jelas di mata Zhou Shi Yu. Ia tidak terbiasa Wang Yi menyakitinya.

"Kurasa aku tak bisa melakukan ini setengah-setengah," balas Zhou Shi Yu.

Wang Yi menggeleng. Nada suaranya bukan menuduh, hanya getir dan pragmatis. "Kau memang sedang melakukannya setengah-setengah."

Wang Yi melihat air mata di mata Zhou Shi Yu, tahu bahwa ia sendiri akan segera menangis dan ingin segera menyelesaikan urusan ini. Menuntaskannya. "Mungkin aku baik-baik saja... mungkin terbatas, tapi tidak, aku tidak melihat masa depan dengan... ini.” 

Wang Yi melipat lidahnya sendiri, berusaha mati-matian untuk kalimat yang akan ia ucapkan selanjutnya. 

“Mari akhiri saja sebelum semuanya lebih tidak jelas."

Zhou Shi Yu tak bisa memercayai apa yang didengarnya. Bingung, marah, ketakutan, dan benar-benar kewalahan, ia menggelengkan kepala, lalu melangkah pergi.


***


"Aku bahkan tak bisa melafalkan kata itu." Suara Zheng Danni terengah, bergegas menyetir dari rumahnya menuju gereja. Ini adalah panggilan ketujuhnya. 

Ia pulang dengan panik, tahu bahwa pertemuan dengan Bao Wei tak bisa dilakukan dengan penampilan ala ratu rumah tangga. 

Ia melesat masuk rumah, menyambar setelan rok dan blus Ann Taylor terseksi, buru-buru memulas riasan, mengurai rambutnya sembari terus mengoceh tanpa henti kepada satu per satu jemaat penting.

"...lesbian!" Akhirnya, Zheng Danni mengucapkannya, terkejut oleh getaran menggairahkan yang menjalar di tubuhnya. "Seorang... lesbian. Begitulah mereka menyebutnya. Dia adalah itu."

"Jangan memanggilnya begitu," Xiaobao membalas di ujung telepon. "Dengar, Zheng Danni. Aku tahu."

"Apa? Kau tahu ini terjadi?"

"Aku... Zhou Shi Yu memberitahuku beberapa minggu lalu. Kukira itu hanya fase. Bahwa itu akan berlalu. Bahwa dia akan melakukan hal yang benar." Xiaobao menghela napas. "Dan kurasa kita berutang padanya, atas pengabdiannya selama bertahun-tahun pada gereja, untuk membuat keputusan yang tepat. Zheng Danni, tolong beritahu aku kau belum mengucapkan sepatah kata pun pada orang lain."

"Tentu saja tidak!" Dusta itu meluncur mudah dari bibir Zheng Danni. "Tapi apakah terpikir olehmu bahwa mungkin Zhou Shi Yu memang seperti ini selama ini?"

"Tidak."

"Yah, kau pasti tahu," Zheng Danni menyarankan. "Aku tahu betapa dekatnya kalian berdua selama ini."

"Zheng Danni—"

"Jangan konyol," Zheng Danni mengoreksi dirinya, "kau pikir aku tidak tahu betapa repotnya kau dengan anak-anakmu itu? Aku hanya bilang, jika dia akan memberitahu siapa pun, dia pasti sudah memberitahumu... dan rupanya dia sudah. Sekarang, pertanyaannya adalah, siapa yang akan memberitahu Pendeta Bao Wei?"

"Tidak ada," Xiaobao membentak, terkejut Zheng Danni akan bertanya begitu. "Itu urusan mereka, Zheng Danni—"

"Aku khawatir itu tidak sesederhana itu. Ini Pendeta Bao Wei yang kita bicarakan. Bagaimana dia bisa memimpin jika istrinya tidur dengan salah satu dari mereka? Dia tidak bisa bekerja secara efektif. Dia akan ditertawakan dan diusir dari mimbar. Seseorang harus melindunginya," Zheng Danni menawarkan dengan marah. "Seseorang harus mengurus ini. Dan akulah yang akan melakukannya."


***


Bao Wei melangkah ke mimbar, wajahnya pias. Tangan mengepal menghantam podium yang saban Minggu menjadi pijakannya, lalu meremas wajahnya, seolah ingin menghapus bayangan istrinya berciuman… Tidak, itu tak mungkin benar! Kertas-kertas khotbah berserakan di lantai.

Zheng Danni mengamati amarahnya, senyum tipis terukir di sudut bibirnya. Ada kepuasan yang menyeruak, namun ia tak bisa membiarkan Bao Wei menghancurkan tempat ini. Terlalu banyak uang yang telah ia curahkan untuk renovasi musim semi.

Ia membiarkan diri menikmati jeda manis itu, lalu menegakkan bahu, dengan tenang mendekati Bao Wei dan merangkulnya.

"Sudahlah, sudahlah," ia memeluk, menenangkan.

Bao Wei bergidik disentuhnya. Ia ingin menghempaskan Zheng Danni ke bangku jemaat, mematahkan leher licinnya. Beraninya dia!

"Bagaimana bisa dia?" desisnya. "Tidak. Kau pasti salah. Bukan Zhou Shi Yu."

"Bao Wei, aku tahu betapa sulitnya menerima ini—"

"Bagaimana kau bahkan tahu itu dia?"

Zheng Danni memiringkan kepala dengan gelengan merendahkan, berpura-pura iba.

"Bao Wei, Bao Wei, Bao Wei... aku dianugerahi mata yang tajam oleh Tuhan. Dan sementara orang lain kesulitan menghadapi kejahatan dunia, Tuhan memberiku karunia untuk menatapnya langsung... untuk menyebutnya apa adanya. Dan ini bukan hanya perzinahan, Bao Wei. Dia tidak hanya menyakitimu dengan dosa daging, dia sengaja menghinamu, untuk meruntuhkan pondasi pertempuran terbesarmu."

Zheng Danni merangkul bahu lebarnya. Namun, Bao Wei tak sanggup lagi menahan sentuhannya dan melepaskan diri dari rengkuhan menjeratnya. Pikiran tentang istrinya, Zhou Shi Yu, dengan siapa pun, membuatnya terhuyung. Tapi dengan wanita itu, wanita yang telah merampas begitu banyak waktu dari keluarganya... ia ingin mencekiknya. Ia ingin menghancurkan perempuan jalang itu—lesbian yang telah mengubah istrinya. Bagaimana? Bagaimana mungkin ini terjadi? Bukankah seseorang harus terlahir seperti itu? Dan jika memang begitu, apakah Zhou Shi Yu sudah menjadi lesbian selama ini? TIDAK! TIDAK!

Ia bergegas meninggalkan mimbar, tak sanggup mengusir pikirannya, namun juga tak mampu menjawab pertanyaan yang terus bermunculan. 

Frustrasi tak terkira, ia menerobos keluar gereja menuju gerbang, mondar-mandir, menendang bangku. Zheng Danni dengan patuh mengikuti domba yang tersesat itu, membiarkannya mengamuk sejenak lagi.

Ketika Bao Wei berbalik, Zheng Danni sudah berdiri di depannya. Matanya tak lagi menampilkan kepedulian lembut seperti saat ia pertama kali dengan gembira memberitahukan "pelanggaran" Zhou Shi Yu, melainkan tatapan tajam dan keras yang memperingatkannya. 

Bao Wei berdiri sesaat, mencerna kekejian yang keluar dari mulut wanita itu, kepuasan yang ia dapatkan saat menyampaikan berita yang kini Bao Wei tahu tanpa keraguan sedikit pun adalah benar.

Itu benar. Hanya itu. Ia sudah tahu ada sesuatu... bagaimana bisa ia tidak tahu. Tapi ini? Si lesbian sialan itu? Berani-beraninya dia menyentuh istriku? 

pandangannya menggelap. Marah. Terhina. Muak. Wanita itu bahkan tidak menarik... dia—dia sakit. Semua ini menjijikkan. Ia tahu, jauh di lubuk hati, ia tak peduli apa yang dilakukan kaum gay dan lesbian pada waktu mereka sendiri, di tempat tersembunyi yang seharusnya. Ia tak perlu menyelamatkan jiwa mereka. Hanya saja, mereka memamerkannya di depan mata. Itulah yang ia keberatan. Dan sekarang... sekarang ini sudah menjadi masalah pribadi.

"Sialan!" raungnya.

Zheng Danni memekik, terkejut oleh luapan amarah Bao Wei. "Pendeta Bao Wei!" Ia tetap mempertahankan keteguhan hatinya dan melepaskan simpati palsunya.

"Aku... aku minta maaf, Zheng Danni, aku..." Ia meliriknya. Ia sangat menyadari bahwa cara ia menangani ini bisa memengaruhi sisa kariernya. Mata pencahariannya.

Mata mereka bertemu. Ia mengangkat tangannya, meski terasa berat seperti seribu kati. "Apa... apa yang harus kulakukan?"

Zheng Danni berjalan mendekatinya. Berdiri sangat dekat. Menatap dalam-dalam ke matanya.

"Kau akan menggunakan amarahmu untuk berdoa bersamaku, Bao Wei. Lalu kau akan pulang dan mengatakan pada istrimu untuk menghentikan kegilaan ini. Bahwa ia tidak hanya berutang pada gereja, tapi juga padamu dan putramu. Zhou Shi Yu bukan wanita bodoh, Bao Wei. Ia akan melakukan apa yang ia tahu benar."

Mereka berdiri berdekatan sesaat. Yang mereka berdua tahu adalah bahwa mereka hidup dalam kebohongan, kebohongan gelap dan tersembunyi, penuh dengan kepura-puraan berbuat baik.

"Berdoalah bersamaku." Zheng Danni tidak meminta. Ia menuntut.

Bao Wei kini terjebak dalam sandiwaranya sendiri, tak berdaya di setiap tingkatan, namun mereka berdua tahu ia tak punya pilihan lain selain melanjutkan penipuan spiritualnya. Maka ia menundukkan kepala dan berdoa.


***


"Kubilang padamu, aku baru saja melihatnya mencium seorang wanita!" Zheng Danni berceloteh di telepon secepat bibirnya bisa membentuk kata. "Di siang bolong begitu!"

Zheng Danni buru-buru memasukkan anjing kesayangannya, Si Snow , ke dalam mobil, sembari panik mencoba mengimbangi rentetan gosipnya sendiri. 

"Aku tahu ada yang aneh padanya. Tak mau lagi ikut protes, sering absen dari ibadah. Tapi ini!" Ia bahkan tak memberi anjing malang itu waktu sedetik pun, langsung melompat ke kursi depan dan mulai mengemudi tanpa mengikat sabuk pengaman.

"Dia sudah... jadi LESBI! Dan bagaimana dengan Pendeta Bao Wei yang malang? Berani-beraninya dia melakukan ini padanya?"

Zheng Danni, kini bagai mendapat misi, melesat membelah jalanan kota Shanghai


***


Murka membakar di dalam dada Zhou Shi Yu saat ia mendengar langkah kaki Bao Wei yang menggebu menuju studionya. Ia terpaku, kaku, ketika suara pigura dibanting ke dinding merobek kesunyian. Kaca pecah berserakan, diikuti gemuruh kehancuran. 

Bao Wei merobek-robek studio Zhou Shi Yu, melampiaskan segala amarah yang selama ini ia pendam di gereja.

Zhou Shi Yu menunggu. Namun, yang ia dengar untuk waktu yang lama hanyalah keheningan. Kemudian, suara mobil menyala dan mundur dengan derit ban.

Berjam-jam kemudian, jauh setelah ia menidurkan San Yi, Zhou Shi Yu duduk di beranda belakang.

Sejak Wang Yi mengakhiri hubungan mereka, Zhou Shi Yu menjalani setiap menit dalam ketenangan hiper-surreal. Ia bergerak perlahan, anggun, mengerjakan setiap tugas dengan sengaja dan hati-hati. Ia pulang ke rumah, membersihkan, mencuci pakaian, dan mendengar panggilan panik di mesin penjawab—Xiaobao mencarinya, Zheng Danni mencari Bao Wei, lalu Xiaobao memberitahunya bahwa Zheng Danni melihatnya dengan "wanita itu" di taman. 

Bahkan ketika jantungnya terasa jatuh ke lantai, mengetahui apa yang telah dilihat Zheng Danni, ia terus bergerak dengan cara yang sama, langkah demi langkah hati-hati, karena ia tahu jika tidak, ia akan kehilangan akal sehatnya. Sepenuhnya.

Ia memberi makan San Yi dan ShanShan ketika mereka tiba setelah berkumpul dengan teman-teman di pusat perbelanjaan. Ia duduk bersama mereka di ruang tamu, menunggu detik demi detik agar Bao Wei mengamuk di seluruh rumah, dan ketika itu tidak terjadi, ia menidurkan anak-anak, dan duduk. Ia membuat teh yang tidak ia minum.

Ia duduk. Dan merasa benar-benar mati.

Dan saat itulah ia tahu apa yang harus ia lakukan.

Maka ia duduk dan menunggu hingga pukul dua dini hari ketika ia mendengar suara mobil berhenti, kali ini pintunya tertutup pelan. Ia lebih merasakan daripada mendengar Bao Wei mencoba menemukannya. 

Ketika suaminya tidak menemukannya di dalam rumah, ia akan menemukannya di tempat Zhou Shi Yu biasa duduk ketika menginginkan kedamaian dan ketenangan, di taman belakang.

Dan kemudian ia ada di sana. Berdiri di depannya, lalu berlutut. Ia mendongak menatap wajah Zhou Shi Yu.

Setetes air mata jatuh dari matanya. Bao Wei ambruk di atas lutut Zhou Shi Yu, bahunya mulai bergetar, tubuhnya terisak-isak tak terkendali. Tangisan amarah yang berbalik menjadi kesedihan, penderitaan, kebingungan. Dalam penderitaannya, satu-satunya kata yang bisa ia dengar adalah, "Jangan lakukan ini pada kita."

Zhou Shi Yu memperhatikannya, tidak lagi terpisah, merasakan pedih atas kehilangannya, kehilangan mereka. Ia meletakkan tangan di punggung Bao Wei, menenangkan hatinya yang hancur, lalu membaringkan kepalanya di atas kepala Bao Wei. Ia memeluknya selama berjam-jam, saat kegelapan berubah menjadi fajar. Ia memeluknya sampai ia tak sanggup lagi menangis.


***


Zhou Shi Yu mendengar mobil Bao Wei meraung memasuki halaman lagi, lalu pintu dibanting kasar.

Beberapa waktu kemudian, Zhou Shi Yu melangkah memasuki studionya yang kini porak-poranda. Segalanya hancur. Ia tak peduli saat melangkah perlahan menembus pecahan kaca dan bingkai-bingkai bengkok, lalu berhenti.

Bahunya mulai bergetar. Jantungnya berdebar kencang.

Ia ambruk ke lantai dan mulai menangis, tersedu-sedu. Setiap detik yang ia tahan selama menunggu Bao Wei kembali kini pecah. 

Ia meratapi segalanya saat memungut bingkai foto putri kecil mereka yang hancur.

Ia menangis hingga tak ada lagi air mata tersisa, meringkuk menjadi bola dan tertidur di antara puing-puing kehidupannya.