Tianlu (sqhy story) ~ Chapter 30

Zhou Shi Yu dan Wang Yi


Melangkah di garbarata itu terasa begitu akrab, namun kali ini Wang Yi dan Zhou Shi Yu mengenakan pakaian kasual, dan bagasi mereka sudah aman di lambung pesawat. Tawa dan senyum tak henti menghiasi wajah mereka, diselingi celotehan bangga tentang betapa serunya perjalanan ini nanti, dan nikmatnya bersantai di tepi pantai Sanya. 

Saat mereka mendekati pintu pesawat dan melangkah masuk, sebuah wajah tak asing menyambut.

“Wah, lihat siapa ini,” seru Yiqi, melipat tangan di dada dengan senyum lebar.

“Kapten Yuan,” sahut Wang Yi dengan binar di matanya. “Senang sekali bertemu kau lagi.”

“Sengaja naik penerbangan ini?” tanya Yiqi. “Tentu saja sengaja,” jawabnya sendiri, tak menunggu Wang Yi membuka suara.

Wang Yi hanya tertawa.

“Siapa kopilot mu kali ini?” Tanya Wang Yi.

Yiqi mengerutkan wajahnya, lalu meletakkan jari telunjuk di bawah hidung, menirukan kumis.

Wang Yi kembali tergelak. “Aku mengerti,” sahutnya.

“Dan bagaimana denganmu?” Yiqi beralih ke Zhou Shi Yu. “Ke mana saja kau selama ini?”

“Aku sudah keluar,” jawab Zhou Shi Yu. “Dapat pekerjaan lain.”

“Wang Yi, bukankah sudah kubilang dari awal,” Yiqi menatap Wang Yi. “Dia tidak akan bertahan lama.”

“Kau benar!” Wang Yi baru menyadari hal itu. “Astaga, kau memang bisa meramalkan orang.”

“Apa?” Zhou Shi Yu memprotes. “Kalian berdua bilang aku tidak akan betah jadi pramugari?”

“Aku tidak,” sahut Wang Yi, meletakkan tangan di dada. “Yiqi kan punya pendapatnya sendiri.”

“Yah, sudahlah,” Zhou Shi Yu menghela napas. “kau memang benar, Yiqi—Kapten Yuan.”

“Aku selalu benar,” ujar Yiqi, dengan nada jumawa. Wang Yi memutar bola matanya.

“Semoga penerbangan kita lancar, Kapten,” kata Wang Yi. “Jangan sampai ada manuver-manuver aneh yang jadi ciri khas kau itu.”

Yiqi mendengus. “Mana mungkin,” protesnya.

Wang Yi hanya tersenyum lebar.

 “Ada-ada saja ucapanmu.”

“Aku ikut senang untuk kau, Yiqi,” kata Wang Yi tulus. Sambil sedikit membungkuk, Wang Yi mengecup pipi Yiqi. Yiqi dengan cepat menepuk punggung Wang Yi.

“Baiklah, Nona-nona,” katanya. “Kembalilah ke kursi tiket gratis kalian. Penumpang tak berbayar tidak boleh terlalu lama mengobrol dengan kapten.”

Wang Yi dan Zhou Shi Yu tertawa.

“Sampai jumpa di darat, Sayang,” kata Wang Yi pada sahabatnya.

Yiqi melambaikan tangan, seolah mengusir mereka dengan canda. Tawa kembali pecah saat kedua wanita itu melanjutkan langkah menyusuri lorong menuju kursi mereka di belakang.

Setelah menyapa dan berbincang dengan awak kabin, yang semuanya dikenal baik oleh Wang Yi dan Zhou Shi Yu, mereka menemukan kursi mereka di bagian belakang pesawat. 

Sudah cukup lama sejak Wang Yi terakhir kali naik pesawat tanpa seragamnya, dan rasanya begitu lega tanpa beban tanggung jawab seperti biasa. Mereka duduk dan mulai mencari posisi nyaman, sedikit bergeser dan memasang sabuk pengaman.

Wang Yi menghela napas bahagia. Ia melirik Zhou Shi Yu, keduanya tersenyum, lalu Wang Yi meraih dan menggenggam tangan kekasihnya.

“Rasanya sungguh menyenangkan bisa terbang ke Sanya,” kata Wang Yi. “Tapi bukan sebagai pilotnya.”

Zhou Shi Yu tertawa dan mengangguk.

“Mungkin kita bisa jadi penumpang yang berbuat rusuh,” Zhou Shi Yu mengemukakan ide.

“Ide bagus itu,” sahut Wang Yi. “Ayo kita pesan semua tequila yang ada, berisik, lalu muntahkan lagi semuanya.”

Zhou Shi Yu kembali tertawa, wajahnya berkerut masam. “Aku tidak mau muntah,” katanya.

“Aku juga tidak mau,” Wang Yi setuju.

“Tapi kita bisa lakukan yang kita bicarakan itu,” Zhou Shi Yu berkata dengan suara berbisik, seolah membagi sebuah rahasia.

“Bisa saja,” Wang Yi menimpali licik. 

“Apa kau masih mau?”

“Kalau kau berani.” Timpal Wang Yi lagi.

“Aku berani.”

“Oke,” kata Wang Yi. “Ikuti saja aba-abaku nanti saat kita sudah di udara. Kita harus mengatur waktunya dengan pas agar tidak ketahuan.”

Zhou Shi Yu tersenyum lebar dan mengangguk setuju.

Lepas landas berjalan mulus dan mudah, dan Wang Yi tersenyum, bangga akan sahabatnya. Rute penerbangan ini sudah seperti 'bayinya', dan ia sangat senang melihatnya berjalan lancar bahkan tanpa kehadirannya. Ini akan membuat masa transisinya jauh lebih mudah. Tentu saja, maskapai ini memiliki banyak pilot luar biasa dan terampil, jadi ia tak perlu khawatir. Namun, ia tetap merasakan ikatan kepemilikan terhadap rute ini, mengingat ia hampir secara eksklusif menerbangkannya selama musim semi dan panas. Meski begitu, sudah saatnya ia melangkah maju.

Wang Yi duduk di kursi lorong pada baris paling belakang pesawat, sementara Zhou Shi Yu di kursi tengah, menyisakan kursi dekat jendela kosong. Sekitar di pertengahan penerbangan, pandangan Wang Yi bergerak gelisah ke sana kemari. 

Pramugari di bagian belakang, Tang Ya dan Ding Li, telah mendorong troli minuman ke depan, dan untuk sementara, mereka tidak terlihat. 

Melihat ini sebagai kesempatan mereka, Wang Yi menepuk lutut Zhou Shi Yu.

“Ikuti aku dua menit lagi,” bisik Wang Yi. Mata Zhou Shi Yu membulat, dan ia tersenyum. Dia sudah siap.

Melepas sabuk pengamannya, Wang Yi berdiri. Ia melirik ke depan lalu ke belakang. Melangkah ke lorong, ia berjalan beberapa langkah menuju toilet, membuka pintu, dan masuk ke dalamnya. 

Toilet itu kecil dan sempit, namun Wang Yi tidak gentar oleh ukurannya. Dengan pintu tertutup, ia dengan cepat membuka kancing celana jinnya dan melorotkannya, bersamaan dengan pakaian dalamnya. Satu kakinya terbebas dari pakaian itu, namun sisanya ia biarkan menumpuk di dekat kaki yang lain. 

Wang Yi bisa merasakan jantungnya berpacu kencang. Ia belum pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya, selama bertahun-tahun menjadi pilot, dan rasanya mendebarkan. Matanya tak lepas mengawasi pintu. Pintu itu tidak terkunci, dan ia berdoa agar tidak ada orang asing yang masuk.

Saat pintu terbuka, kegembiraan Wang Yi berlipat ganda. Ia sudah bisa merasakan gejolak gairah dan kebasahan, hanya karena kemungkinan itu. 

Akhirnya, Zhou Shi Yu menjulurkan kepalanya dan melirik masuk.

“Cepat masuk!” seru Wang Yi mendesak. 

Zhou Shi Yu masuk dan dengan cepat menutup pintu. 

“Kunci,” perintah Wang Yi. Zhou Shi Yu menurut.

Zhou Shi Yu langsung menerjang Wang Yi, menekan tubuhnya ke dinding, dan keduanya mulai berciuman dengan penuh gairah. 

Wang Yi melingkarkan lengannya di leher Zhou Shi Yu dan memeluknya, membalas ciumannya dengan penuh kasih, merasakan gelora hasratnya kian memuncak. Kemudian, tangan Zhou Shi Yu menyelip di antara paha Wang Yi dan mulai membelai lembut kulitnya yang basah, maju-mundur dengan jemari mantap dan tekanan yang membuat Wang Yi membengkak dalam sensasi.

“Kau benar-benar basah,” bisik Zhou Shi Yu di sela ciuman.

“Ini sungguh mendebarkan bagiku,” kata Wang Yi dengan napas tertahan. “Aku belum pernah melakukannya.”

“Izinkan aku menjadi yang pertama,” bisik Zhou Shi Yu di telinga Wang Yi. “Dan satu-satunya.”

Jemari Zhou Shi Yu masuk ke dalam diri Wang Yi dengan gerakan mantap, dan Wang Yi mengerang. Itu adalah segalanya yang Wang Yi harapkan. Gagasan untuk tertangkap basah, terutama oleh teman-teman dan awak kabinnya sendiri, membuat bulu kuduknya merinding. 

Zhou Shi Yu begitu metodis dan teratur dalam sentuhannya, memastikan jemarinya meluncur lembut di atas klitoris Wang Yi di setiap dorongan penuh semangat. 

Wang Yi serasa di surga, ia menyeringai lebar, menikmati setiap detik jemari Zhou Shi Yu merasukinya.

Dan ketika Wang Yi mencapai puncaknya, ia harus membenamkan mulutnya ke bahu Zhou Shi Yu untuk meredam suara. Ia bisa merasakan tubuhnya berdenyut, merasakan selangkangannya meneteskan beberapa tetes cairan gairah saat Zhou Shi Yu menarik jemarinya. 

Ketika Wang Yi membuka matanya, ia melihat Zhou Shi Yu membawa jemarinya ke bibir dan memasukkannya, menjilati dan mengulumnya. Wang Yi menjatuhkan kepalanya kembali ke dinding dan menghela napas bahagia.

Kembali ke kursi mereka, kedua wanita itu tersenyum dan tertawa kecil mengenang petualangan singkat mereka. 

Mereka memastikan keluar dari toilet pada waktu yang berbeda, dan berhasil tidak ketahuan. Jantung keduanya berdegup kencang dengan energi gugup yang mendebarkan. Itu justru membuat mereka merasa yakin bisa melakukannya lagi.

“Klub mil di udara,” gumam Wang Yi dengan seringai.

“Klub mil di udara,” ulang Zhou Shi Yu.

“Tapi lain kali,” kata Wang Yi. “Aku akan membawa cadangan pakaian dalam. Yang ini sudah cukup basah sekarang.”

Zhou Shi Yu tertawa. “Atau tanpa pakaian dalam sama sekali,” Zhou Shi Yu menawarkan.

“Itu mungkin lebih baik,” kata Wang Yi.

Mereka berciuman, lalu berciuman lagi. Wang Yi menggenggam erat tangan Zhou Shi Yu. Jelas sekali bahwa keduanya saling mencintai. Mereka berdua mengetahuinya dalam hati mereka.


***


Belum genap dua puluh empat jam berlalu, Wang Yi dan Zhou Shi Yu telah berjemur telentang di kursi pantai yang empuk, berbalut bikini. 

Matahari Sanya yang terik memancarkan sinarnya ke tubuh mereka, menghangatkan dan mengisi setiap sel dengan vitalitas serta sukacita. Sebuah payung pantai lebar melindungi kepala mereka dari sengatan mentari, sekaligus menaungi meja kecil tempat minuman dingin mereka tersaji. 

Perlahan, Wang Yi mendorong tubuhnya bangkit dari kursi. Ia merentangkan tangan ke belakang, menyelipkan jemari ke dalam pakaian renangnya, lalu meraih minumannya. Disesapnya minuman itu, dan senyum puas mengembang di wajahnya.

Wang Yi memandang ke arah laut yang berombak. Birunya air begitu memesona, seolah dari dunia lain. Tamu-tamu resor lain bermain air, melompat dan berpercikan riang, menggunakan boogie board untuk berselancar di atas gulungan ombak. 

Seorang wanita lokal dari pesisir yang ramah, mengenakan kacamata hitam dan topi, berjalan santai dengan tas punggung besar di punggungnya, menjajakan syal batik aneka warna. 

Pemandangan pantai itu begitu indah, dan terasa semakin sempurna bagi Wang Yi karena Zhou Shi Yu berbaring di sisinya.

“Hei,” sapa Wang Yi malas-malasan.

“Ya?” jawab Zhou Shi Yu, menoleh menatap Wang Yi. Ia masih terbaring telentang, lengan terangkat, tangan di bawah kepala, dan mengenakan kacamata hitam.

“Aku mencintaimu,” kata Wang Yi. Senyum tulus merekah.

“Aku juga mencintaimu,” balas Zhou Shi Yu.

Keduanya saling melempar senyum lebar. Itu adalah momen yang lembut dan penuh kebahagiaan, di pantai itu, disaksikan oleh lautan tak terbatas di depan mereka, dan semilir angin sejuk yang berembus pelan. 

Sungguh magis, dan seperti cinta mereka yang terus tumbuh, momen ini luar biasa. Wang Yi merasa, pada saat itu, ia akhirnya belajar mencintai. Begitu mudah mencintai wanita seperti Zhou Shi Yu. 

Dan bagi Zhou Shi Yu, begitu mudah mencintai wanita seperti Wang Yi. Inilah bagaimana seharusnya cinta itu. Keduanya tahu itu dalam lubuk hati mereka, dan rasa syukur mereka karena telah menemukannya tak terbatas.