Tianlu (sqhy story) ~ Chapter 5

Zhou Shi Yu dan Wang Yi


Di Kondominium Wang Yi.

Wang Yi berdiri di depan cermin bundar yang tergantung di dinding dekat rak buku, memantulkan rambut hitam bercampur silver yang tebal dengan jari-jarinya. Ia memiringkan kepala sedikit ke kiri, lalu ke kanan, mengamati garis rahangnya, menelusuri mata hitam kelam yang kini lebih tampak teduh ketimbang tajam. Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya—hanya sedikit lipstik berwarna netral yang menambah kesan lembut pada penampilannya. Ia tampak segar. Bahagia, mungkin.

Blus linen putih yang sedikit longgar, jeans hitam yang melekat sempurna, dan sepatu flat kulit membuatnya terlihat santai namun tetap mencolok. Wang Yi melangkah perlahan mengitari kondominiumnya, meninjau segalanya sekali lagi. Ia merapikan bantal di sofa, memutar sedikit pot karet tingginya agar daunnya menangkap cahaya pagi, lalu menarik napas dalam, mencoba meredam kegelisahan yang samar namun nyata. Hari ini berbeda.

Saat ia tengah mengikis bekas noda kecil yang mengering di konter marmer, bel apartemen berbunyi. Wang Yi sedikit terkejut, lalu buru-buru menghampiri panel interkom.

“Halo?” suaranya jernih, tenang.

“Ini aku. Zhou Shi Yu.”

Senyum Wang Yi langsung merekah. “Naiklah.” Ia menekan tombol pembuka pintu, menahannya sebentar sebelum melepaskan.

Ia kembali ke dapur, menyeka konter sekali lagi dengan tisu basah, kemudian membuangnya ke tempat sampah tanpa tergesa. Ia berdiri sejenak di balik konter, melihat ruang tamunya dari sudut pandang seorang tamu yang baru pertama kali datang. Dinding bata merah ekspos, langit-langit tinggi dengan balok kayu tua, jendela besar yang membiarkan cahaya menari di lantai parket. Tempat ini mencerminkan dirinya—urban, terstruktur, tapi tidak berlebihan.

Namun, ia sempat bertanya-tanya, apakah seseorang seperti Zhou Shi Yu akan peduli dengan semua ini? Atau lebih buruk: apakah kesan 'trendy' yang ia bangun justru sudah usang?

Sebelum pikirannya berlarut, ketukan terdengar dari pintu. Wang Yi menepis keraguannya, lalu melangkah cepat dan membukanya.

Di ambang pintu, Zhou Shi Yu berdiri dengan senyum lembut. Ia mengenakan gaun bunga ringan dengan jaket jeans yang tergantung di pundaknya, kaus kaki putih yang hanya terlihat sedikit di atas sepatu tenis putihnya. Rambutnya dikuncir rendah, sederhana, tapi justru memancarkan pesona yang tenang dan matang.

Dan mata indah itu, mampu membuat Wang Yi, seorang pilot yang terbiasa dengan langit terbuka, mendadak merasa sempit di ruangannya sendiri.

“Hai,” kata Zhou Shi Yu.

“Wah, hai.” Wang Yi terdiam sepersekian detik, lalu maju memeluknya, satu gerakan yang terasa wajar, nyaris tanpa jeda. Pelukan itu dibalas dengan hangat.

“Senang akhirnya bisa datang,” ucap Zhou Shi Yu ketika mereka melepaskan diri.

“Dan aku senang kau datang,” balas Wang Yi, menutup pintu dengan gerakan tenang. “Mau minum apa? Air putih? Kopi? Teh?”

“Air putih saja, kalau boleh,” kata Zhou Shi Yu, meletakkan tas bahunya di konter. Gerak-geriknya tenang, nyaris seperti seseorang yang sudah terbiasa berada di ruang ini.

Wang Yi mengambil dua gelas tinggi dari kabinet dan mengisi keduanya dengan air dingin. Sementara itu, Zhou Shi Yu berjalan perlahan ke area ruang utama, menelusuri tiap detail seolah-olah ia menyimpan semuanya dalam ingatannya. Ia memperhatikan bagaimana cahaya menembus tirai tipis, mencium aroma samar kayu dan vanila yang mengambang di udara, dan mencatat betapa setiap benda di ruangan itu tampak seperti bagian dari sebuah komposisi, bukan sekadar perabot.

“Tempatmu… mengesankan,” katanya akhirnya. “Kau punya selera yang sangat spesifik. Tapi tidak dibuat-buat.”

“Aku harap begitu,” kata Wang Yi sambil menyerahkan segelas air. “Aku tidak terlalu suka benda-benda yang cuma jadi dekorasi. Aku ingin semuanya punya alasan untuk ada.”

Zhou Shi Yu mengambil gelas itu dan tersenyum. “Kau bicara seperti seorang arsitek interior. Tapi sejujurnya, aku bisa merasakan siapa kau dari ruangan ini. Rapih, cerdas, tapi tetap memberi ruang untuk bernafas.”

Wang Yi tertawa kecil. “Atau kau terlalu sopan untuk bilang aku terlalu perfeksionis.”

Zhou Shi Yu menatapnya sejenak, lalu berkata, “Kalau kau perfeksionis, kau menyembunyikannya dengan sangat elegan.”

Dan untuk sesaat, waktu terasa melambat. 

Wang Yi menatap Zhou Shi Yu, dan ia menyadari sesuatu: bahwa kehadiran perempuan itu—dengan segala ketenangan dan kejelasan yang dibawanya—mulai membuat ruang ini terasa seperti sesuatu yang lebih dari sekadar ruang pribadi.

Ia merasa nyaman. Tapi juga sangat hidup.

“Terima kasih,” ucap Zhou Shi Yu saat menerima segelas air dari tangan Wang Yi. Ia menyesap sedikit, dinginnya menyegarkan.

“Sama-sama.” Wang Yi ikut duduk, menyesap dari gelasnya sendiri.

“Tempat ini luar biasa, Wang Yi,” ujar Zhou Shi Yu sambil menelusuri ruangan dengan pandangan lembut. “Loteng yang sangat memikat.”

“Terima kasih,” jawab Wang Yi, menoleh sambil tersenyum kecil. “Aku membelinya… entahlah, sekitar lima tahun lalu. Waktu yang tepat, sebelum semua orang menyadari kawasan ini punya daya tarik.”

“Ya, sudah pasti,” sahut Zhou Shi Yu. “Kalau saja aku cukup bijak lima tahun lalu… tapi saat itu aku baru dua puluh tiga, dan pikiranku lebih sibuk memilih sepatu dibanding investasi.”

Wang Yi tertawa pelan.

“Itu mungkin sedikit menghambat hasrat untuk memiliki properti,” katanya sambil mengangkat alis.

“Sedikit saja,” Zhou Shi Yu membalas dengan senyum tipis.

“Aku membeli tempat ini saat baru keluar dari Angkatan Udara,” kata Wang Yi, menoleh perlahan ke sekeliling ruangannya, seolah melihatnya dengan mata yang berbeda. “Aku tumbuh di kota ini, jadi rasanya masuk akal untuk punya sesuatu yang tetap. Titik diam setelah bertahun-tahun berpindah langit.”

“Angkatan Udara,” Zhou Shi Yu mengulang pelan. “Sekarang segalanya terasa masuk akal. Kau pilot.”

Dengan langkah ringan, Zhou Shi Yu berjalan menuju sofa, lalu duduk perlahan, tubuhnya menyelaraskan diri dengan ruang yang ia rasakan asing tapi nyaman.

Wang Yi menyusul dan duduk di sampingnya, tubuhnya sedikit condong ke depan. Ia meletakkan gelasnya di atas meja kopi yang permukaannya halus dan berkilau.

“Jadi, kalau dihitung-hitung,” kata Zhou Shi Yu, matanya menatap langit-langit sejenak, “kau sudah bertugas sejak…”

“Sebelum usia legal minum alkohol,” potong Wang Yi sambil menghela napas pendek. “Aku mulai belajar terbang saat enam belas, bergabung dengan pelatihan militer setahun setelahnya. Latar belakangku membuat semuanya lebih mudah. Aku tak pernah kekurangan akses.”

“Latar belakangmu?” tanya Zhou Shi Yu, sedikit memiringkan kepala.

“Aku lahir di keluarga yang… tak perlu khawatir soal uang. Mereka memberiku kebebasan penuh untuk mengejar apa pun yang kuinginkan. Dan yang kuinginkan adalah langit. Waktu itu kupikir menjadi pilot militer adalah bentuk tertinggi dari disiplin dan petualangan. Ternyata, langit juga punya sisi dinginnya.”

Zhou Shi Yu mendengarkan dengan tenang. Wajahnya tak menunjukkan keterkejutan, tapi mata cantiknya menangkap sesuatu yang lebih dalam.

“Dan kau terbang di misi tempur?”

“Tidak,” Wang Yi menggeleng. “Penerbangan logistik dan pengisian bahan bakar. Tetap berisiko, tapi tak seintens garis depan. Aku masuk sebagai perwira, karena sudah menyelesaikan kuliah lebih awal. Tapi aku bukan tipe militer. Aku masuk karena pesawatnya, bukan karena seragamnya.”

Zhou Shi Yu tertawa pelan, seolah memahami. “Jadi sejak remaja, kau sudah tahu ke mana arahmu.”

“Itu lucunya,” Wang Yi menatapnya. “Aku kira aku tahu. Tapi semakin lama aku terbang, semakin terasa seperti… aku menjauh dari daratan. Dari apa pun yang nyata.”

Zhou Shi Yu terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku menjadi pramugari di usia dua puluh lima. Dan sampai sekarang, aku masih merasa belum benar-benar mulai memilih.”

“Kita semua punya linimasa yang berbeda,” ucap Wang Yi, tersenyum lembut seolah hendak menyapu keraguan dari mata Zhou Shi Yu. “Aku memang tahu sejak lama apa yang kuinginkan. Tapi sekarang? Entahlah.” Ia mengangkat bahu kecil, membuka telapak tangannya ke udara seakan melepaskan sesuatu yang tak bisa digenggam.

“Lalu… apa yang terjadi setelah kau keluar dari Angkatan Udara?” tanya Zhou Shi Yu. Suaranya tenang, tapi ada sedikit nada ingin tahu yang tak bisa disembunyikan.

“Aku langsung masuk maskapai komersial. Tianyu Airlines  merekrutku tak lama setelah masa aktifku selesai. Sejak itu, ya… inilah aku. Mengudara, dari kota ke kota, bahkan dari negeri ke negeri. Awalnya kupikir itu kebebasan. Tapi lama-lama, semua kota mulai terasa sama.”

Zhou Shi Yu mengangguk pelan. “Aku tidak bisa membayangkan menjadi pramugari selama itu.”

Wang Yi memiringkan kepala. Ia tahu betul bahwa tatapan kosong di mata Zhou Shi Yu bukan datang dari rasa bosan, melainkan dari keraguan akan pilihan hidupnya sendiri.

“Kau tidak terlalu menyukai pekerjaanmu?” tanyanya hati-hati.

“Bukan tak suka,” jawab Zhou Shi Yu, menghela napas. “Ini pekerjaan yang cukup baik. Aku suka perjalanannya, suka melihat awan dari jendela pesawat saat matahari terbit. Tapi di luar itu… rasanya hampa. Aku pikir, di usia seperti ini, aku akan melakukan sesuatu yang lebih dekat dengan mimpi.”

“Mimpi apa?” tanya Wang Yi, suaranya nyaris seperti bisikan.

Zhou Shi Yu menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. “Musik. Aku pernah berpikir akan jadi musisi.”

Senyum Wang Yi perlahan merekah. “Itu tak terdengar konyol. Sama sekali tidak.”

“Tapi aku tahu dunia itu,” Zhou Shi Yu menyandarkan punggung ke sofa. “Sulit ditembus, keras, dan tak selalu adil.”

“Kau pernah mencobanya?”

“Aku punya band kecil,” jawab Zhou Shi Yu. “Kami main di beberapa klub. Aku vokalisnya. Bukan sesuatu yang besar, tapi… kurasa itu satu-satunya hal yang membuatku merasa benar-benar hidup.”

Wang Yi menoleh penuh perhatian. “Musik seperti apa?”

“Dream pop. Kau tahu genre itu?”

Wang Yi menggeleng perlahan, mengakui dengan senyum malu. “Aku rasa belum.”

“Itu seperti… perpaduan antara melodi dan atmosfer. Banyak lapisan suara, efek gema, dan tekstur yang lembut. Agak seperti shoegaze, kalau kau pernah dengar.”

“Belum juga,” Wang Yi terkekeh, lalu menatapnya dengan mata yang sedikit menyala. “Tapi aku ingin sekali mendengarnya. Mungkin… suatu hari nanti, kau akan bernyanyi untukku.”

Zhou Shi Yu tertawa ringan. “Mungkin,” katanya lirih.

Keduanya terdiam sejenak, tapi bukan dalam kecanggungan. Keheningan itu seperti jeda dalam komposisi musik—sunyi yang menyatukan nada-nada sebelumnya dan membiarkan hati berbicara.

“Kau ada rencana malam ini?” tanya Wang Yi akhirnya. Suaranya ringan tapi ada nada ajakan yang tak bisa diabaikan.

“Tidak,” Zhou Shi Yu menggeleng. “Biasanya aku ke bar-nya Bai Xin Yu untuk minum segelas atau dua. Tapi setelah kami putus, rasanya tidak tepat ke sana.”

Wang Yi menoleh, alisnya sedikit terangkat. “Maaf. Aku tidak tahu. Harusnya kutanyakan lebih dulu bagaimana perasaanmu.”

“Tak apa,” Zhou Shi Yu menjawab cepat. “Kami memang tidak cocok sejak awal. Butuh waktu untuk mengakuinya, tapi sekarang… aku merasa lebih ringan.”

“Aku senang mendengarnya,” kata Wang Yi. Ia tersenyum. “Dan kalau begitu… bagaimana kalau kita jadikan malam ini sedikit istimewa? Makan malam, mungkin satu atau dua gelas anggur. Tidak perlu mewah, hanya sesuatu yang terasa hidup.”

Zhou Shi Yu menatapnya, dan senyum itu kembali menghiasi wajahnya. “Aku akan sangat menyukainya.”

Wang Yi mengangkat gelas airnya, membawanya ke tengah seakan mengajak bersulang dalam keheningan. Zhou Shi Yu mengangkat gelasnya juga, dan dengan satu ketukan lembut, mereka minum. Tak ada yang diucapkan, tapi ada sesuatu di sana, sebuah awal yang tak perlu dijelaskan.